WOS Research id

Selasa, 20 Maret 2012

Kawasan Ekonomi Khusus Berbasis Pertambangan

LOGO PEMERINTAH SULAWESI TENGGARA
Awal tahun 2011 merupakan awal dimana kita dapat membuat sebuah refleksi perjalanan kita selama tahun 2010 dan sebagai bahan pertimbangan langkah-langkah ke depan. Meski tahun 2011 menurut kalender cina disebut juga dengan tahun kelinci logam, yang menurut para ahli feng shui maka kegiatan yang prospek adalah terkait dengan unsur logam.

Namun tulisan pada blog Geologi-untuk pembangunan sultra ini dibuat bukan sebagai bentuk memihak atau menolak kebijakan pengelolaan sumberdaya alam sultra yang di gagas oleh gubernur sultra, yaitu kawasan ekonomi khusus (KEK) berbasis pertambangan, melainkan adalah merefleksi pengelolaan pertambangan sultra yang ada selama ini dan merefleksi dasar pemikiran gubernur sultra dalam tatanan perundangan yang ada tentang pengelolaan sumber daya alam dan pengembangan suatu kawasan siap tumbuh ekonominya.

Secara historis pertambangan sultra yang terimplisit didalam logo sultra (dimana sultra terbentuk tahun 1964) sebagai identitas daerah adalah konfigurasi warna latar perisai dari logo pemda sultra mengindikasikan para founding father sultra menunjuk komoditi unggulan nikel (coklat) dan aspal (hitam) sebagai jaminan masa depan daerah sultra. Secara historis pula menunjukkan kedua komoditi ini menumbuhkan wilayah ekonomi baru pada masanya, yaitu pomalaa (nikel) dan banabungi (aspal), dimana kedua wilayah ini yang membuat wilayah Mining Estate, dijadikan pada masa-masa sekarang ini memiliki peranan (role) penting di dalam pengembangan industri logam nasional pada umumnya dan wilayah Kolaka pada khususnya.

Demikian pula peranan banabungi (pasarwajo) yang akhirnya menjadi ibukota kabupaten Buton. Mari kita membicarakan komoditi nikel sebagai komoditi unggulan. Mengapa nikel menjadi komoditi menarik, ini disebabkan nikel merupakan komponen alloy pada industri baja (up stream line) sebesar 40% dari total komponen dan menjadi bahan utama di industri baterai isi ulang (downstream line) sebesar 65% dari total komponen, yang mana subtitusi terhadap pengganti peran logam nikel belum di temukan.

Bagaimana kenyataan (fakta) lapangan, secara data empiris menunjukkan sejak di tambangnya nikel pada tahun 1934 oleh Oost Borneo Maatschaappij (dutch private company) hingga PT. ANTAM Tbk menunjukkan awal ekspor sebesar 150.000 ton bijih nikel dan menjadi di tahun 2008 menjadi 1.116.284,6 ton (Sultra dalam angka, BPS 2008), demikian pula dengan aspal di buton yang produksinya cenderung meningkat, ini menunjukkan pandangan jauh dari para founding father sultra yang kita tahu bersama beliau-beliau ini tidak ada yang ahli ekonomi regional, apalagi geologi dan pertambangan, namun beliau-beliau ini kenal dan memahami karakter wilayahnya. Sun Tzu berkata ” barang siapa mengenal diri dan lawannya maka akan menang di segala medan pertempuran”.

Berdasarkan aspek potensi sumberdaya alam nikel, maka sultra termasuk daerah yang memiliki potensi cadangan cukup besar data sumberdaya hipotetik +- 97,401,593,626 Ton bijih nikel laterit (Dinas ESDM Sultra), sehingga berdasarkan potensi jika di tambang bisa sampai ratusan tahun. Namun demikian, meski nilai ekspor nikel sultra yang tercatat oleh BPS Sultra bernilai USD. 377,634,470 atau Rp 3,700,817,806,000 (jika USD 1 = Rp. 9800) dengan prosentase 90.03% dari total nilai ekspor sultra tahun 2008. Begitu juga dengan pendapatan pemerintah daerah menunjukkan besarnya dana perimbangan keuangan pusat dan daerah dari PNBP sektor pertambangan tahun 2009 sebesar Rp. 3,732,276,372 dan naik di tahun 2010 sebesar Rp. 4,000,000,000. Dampaknya belum signifikan bagi daerah karena belum memberikan kontribusi yang nyata terhadap kesejahteraan masyarakat sultra. Ini ditunjukkan peranan sektor tersebut terhadap PDRB sultra tahun 2010 hanya 4,05%.

Belum lagi kita bicara masalah dampak lingkungan wilayah pertambangan nikel dan aspal, walaupun banyak wilayah pertambangan yang telah dikelola dengan baik, sebagai contoh daerah tambang batu bara Muara Enim (Sumsel), Sawah Lunto (Sumbar), Sangata (Kaltim), tambang nikel Sorowako (Sulsel),dan tambang emas Kelian (Kalteng). Contoh kasus lainnya adalah penambangan nikel di pomalaa adalah suatu kenyataan yang menarik terkait, dimana adanya contoh nyata pengelolaan lingkungan tambangnya masuk katagori 10 terbaik yaitu PT. ANTAM Tbk dan PT. INCO Tbk, Tetapi kenyataannya tidak berlaku bagi perusahaan penambangan di luar kedua perusahaan tersebut, dimana pengelolaan lingkungannya terlihat amburadul dan berkesan dibiarkan padahal contoh yang baik telah ada, sehingga masyarakat mencap dan menggeneralisir bahwa perusahaan tambang itu cenderung merusak lingkungan.

Ini memberikan bukti bahwa dampak lingkungan wilayah pertambangan menjadi tak terkendali dan cenderung merusak bila stake holder pertambangan tidak melakukan upaya-upaya yang nyata terhadap pengelolaan dan pemantauan lingkungannya yang celakanya dokumen-dokumen lingkungannya hanya dijadikan sebagai pemenuhan legalitas saja. Demikian pula masalah tenaga kerja, memang benar mining estate PT. Antam Tbk,telah menumbuhkan lapangan kerja yang jumlahnya +- 1.400 orang, namun karena habit atau kultur pertambangan membutuhkan tenaga dengan special skill seperti operator alat tambang, safety and maintenance, lingkungan, dan expert di bidang pertambangan serta metalurgi menyebabkan putra-putra daerah di sekitar lokasi tambang menjadi terseleksi dan terkesan tidak terakomodir akibat dari skill putra daerah yang tidak memenuhi harapan (need) industri tambang.


Dan celakanya pemerintah daerah sebagai fasilitator pembangunan serta institusi-institusi pendidikan di sultra tidak mengarahkan tenaga kerjanya kepada realitas kebutuhan pasar tenaga kerja yang ada. Sehingga kebanyakan putra-putra daerah hanya di rekrut menjadi tenaga kerja di bagian keamanan maupun tenaga kontrak kasar atau bahkan hanya sebatas penonton di wilayahnya.

Oleh karenanya didalam pengelolaan pertambangan menurut kacamata geologi seyogyanya tidak bisa hanya dikelola (manage) secara konvensional seperti sekarang ini. Namun harus di kelola dengan langkah-langkah yang baik dan berkelanjutan. Didalam pengelolaan pertambangan dewasa ini model yang mengemuka sekarang ini adalah Coorporate Social Responsibility (CSR) dimana alokasi CSR diberikan kepada masyarakat sekitar wilayah tambang yang diperuntukkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang.

Namun bagaimana dengan investasi terhadap infrastruktur fisik seperti jalan, rumah sakit dan sekolah di sekitar wilayah tambang yang menjadi kewenangan pemerintah maupun kegiatan non fisik dalam rangka pengembangan ekonomi masyarakat sultra secara luas menjadi tidak tersentuh.

Ada salah satu pilahan pola kontribusi yang sering digunakan, yakni pola divestasi saham seperti antara PT. Newmont Minahasa dengan Pemda NTB (model ini telah pula di terapkan PT. Semen Tonasa dengan Pemda Pangkep), dimana porsi pemerintah daerah akan dimasukkan dan di tingkatkan prosentase kepemilikannya dengan harapan terjadi peningkatan pendapatan pemerintah yang nantinya dana tersebut digunakan sebagai belanja pemerintah dalam bentuk proyek pembangunan infrastruktur fisik maupun non fisik.

Namun kekurangannya model ini adalah serapan tenaga kerja dan peranan sektor riil seperti UMKM lokal tidak terlibat langsung sehingga perputaran ekonomi di sekitar wilayah pertambangan tidak tercipta dan kesenjangan ekonomi terus terjadi yang menyebabkan harapan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar tambang juga pastinya belum tercapai.

Untuk itu model yang sudah ada tersebut, Tulisan pada Blog Geologi-Untuk Pembangunan Sultra mencoba bersama sandingkan dengan model pengelolaan yang ditawarkan oleh Gubernur Sultra. Marilah kita lihat kebijakan Gubernur Sultra terhadap pengelolaan sumber daya tambang sultra dengan mencetuskan gagasan model pengelolaan KEK berbasis pertambangan.

Maka pikiran kita bersama adalah kira-kira suatu kawasan ekonomi yang di dalamnya adalah khusus kegiatan eksploitasi bahan galian tambang. Ini akan melahirkan beberapa masalah yang mengemuka, yaitu : 1. Bagaimana kedudukan hukumnya?, 2. Bagaimana dengan potensi SDA lainnya?, 3. Bagaimana dengan peran masyarakat yang kulturnya bukan masyarakat tambang?.

Untuk menjawab masalah pertama adalah mencari aturan perundang-undangan tentang pengelolaan sumber daya alam khususnya pengelolaan mineral ternyata di UU no. 4 tahun 2009 tentang mineral dan batubara secara aturan bahwa pemerintah menetapkan Wilayah Pertambangan (WP) dan Gubernur serta Bupati/Walikota menetapkan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP).

Di UU no. 4 tahun 2009 tidak menyatakan adanya wilayah khusus pertambangan namun PP no.22 tahun 2010 tentang wilayah pertambangan, di pasal 20 secara jelas menerangkan bahwa wilayah pertambangan merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan tata ruang. Demikian pula berdasarkan UU no. 39 tahun 2009 tentang kawasan ekonomi khusus sesuai pasal 3 dan pasal 4 mensyaratkan bahwa kawasan ekonomi khusus harus masuk kedalam RTRW Provinsi.Maka baik itu wilayah pertambangan dan kawasan ekonomi khusus harus terkait dengan Tata Ruang.

Mari kita lihat UU no. 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, menyebutkan bahwa wilayah pertambangan adalah masuk kawasan budidaya peruntukan pertambangan dan dapat diarahkan menjadi kawasan andalan, yang syaratnya dapat di lihat pada PP No. 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional pasal 72,73 dan 74 dapat dipakai didalam menetapkan kawasan andalan berbasis pertambangan.

Yang perlu di cermati adalah mekanisme pengusulan rencana tata ruang berdasarkan pasal 65 harus melibatkan masyarakat. Sehingga apabila masyarakat ataupun stake holder lainnya dapat memberikan masukkan tentang baik itu wilayah pertambangan maupun KEK itu sendiri maka tempatnya di saat forum aspiratif dalam rangka penyusunan RTRW Provinsi.

Yang disayangkan adalah mekanisme pengusulan KEK berbasis pertambangan berdasarkan UU no. 39 tahun 2009 pasal 5 dan pasal 7 menyatakan bahwa pemerintah dapat menetapkan KEK dengan atau tanpa adanya persetujuan pemerintah kabupaten/kota. Menurut UU no. 39/2009 secara implisit, Gubernur tidak harus menjabarkan kebijakannya mengenai KEK kepada masyarakat Sultra maupun stake holder lainnya, hanya pemerintah pusat dalam hal ini dewan nasional dan menjadi syarat termasuk segala kelengkapannya (lihat UU no.39/2009).

Disini jelas bahwa polemik tentang perlu tidaknya gubernur menjabarkan KEK ke DPRD tidak perlu diteruskan termasuk kajian mengenai lingkungannya karena dokumen kajian lingkungannya merupakan salah satu syarat usulan KEK, namun pada saat forum aspiratif dalam rangka penyusunan RTRW provinsi yang mana KEK berbasis pertambangan termasuk bagiannya maka Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) perlu memberikan penjelasan tentang kajian akademiknya KEK berbasis pertambangan tersebut sehingga seluruh stake holder sultra termasuk DPRDnya memahami “mahluk” tersebut dengan lebih jelas.

Bagaimana dengan pertanyaan kedua, ternyata di dalam UU no. 39/2009 pada pasal 3 menunjukkan bahwa di dalam KEK terdiri dari beberapa zona yang di dalamnya dapat di peruntukkan bagi potensi-potensi lainnya yang bernilai ekonomi. Demikian pula dengna pertanyaan ketiga yaitu peran serta masyarakat dapat diakomodir di dalam KEK tersebut sesuai pasal 3 ayat 3, baik sebagai pelaku usaha maupun pendukung kegiatan. Kalau demikian bagaimana pula dengan KAPET, ternyata penyebab KEK berbeda dengan KAPET adalah dari mekanisme pembentukan kawasan, pengoperasian, dan fokus komoditi ekonominya. Salah satu contoh adalah kalau KAPET pengelolanya terdiri dari ketua gubernur, wakil ketua, serta jajaran direktur, sedangkan pengelola KEK di serahkan ke badan pengelola atau administrator KEK yang di bentuk oleh dewan kawasan diluar jabatan negara (lihat UU no.39/2009).

Memang tulisan pada Blog Geologi-Untuk Pembangunan Sultra tidak memberikan ruang yang cukup untuk terjadinya dialog yang lebih, maka kiranya perlu ada forum diskusi dan urung rembuk yang lebih komprehensif yang bisa di fasilitasi oleh pemda provinsi sultra atau stake holder lainnya, dimana pembahasannya lebih jernih, tidak apriori dan menghakimi sesuatu tanpa alasan dan fakta yang jelas.

Namun sekali lagi tulisan pada Blog Geologi-Untuk Pembangunan Sultra bukan untuk mendukung maupun menolak kebijakan gubernur sultra didalam mengelola sumberdaya alamnya tetapi hanya sebagai refleksi sebuah kebijakan yang akhirnya, kenyataanlah yang akan menentukan apakah suatu konsep pengelolaan itu baik dan dapat mencapai tujuan bersama yaitu kesejahteraan masyarakat Sulawesi tenggara.. ..wallahu a’lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar